Beyond Labels: Memaksimalkan Potensi Individu Spesial di Masa Muda

Fokus itu nyaman di badan kita, di diri kita. Anak ADHD, butuh orang yang nyaman, butuh orang yang mau mendengarkan kita (Fajar Baskoro – Entrepreneur, individu dengan Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD))

WebPsi, JAKARTA — Webinar terakhir di akhir bulan Ramadhan ini terasa semakin spesial karena berisi tentang sharing dari orang-orang spesial. Mereka adalah Andira Pramatyasari (Pegawai Negeri Sipil) individu dengan tuna netra, Rahadian Sakti Pradana (Mahasiswa S2 Pendidikan Khusus) individu dengan Autism Spectrum Disorder (ASD), Fajar Baskoro (Entrepreneur) individu dengan Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) pada dewasa. Webinar yang dihadiri oleh berbagai kalangan umum dan kampus ini dimulai tepat pukul 9.00 WIB pada Sabtu (15/4) melalui medium Zoom dan digawangi oleh Maratini Aisyah, S.Psi sebagai Master of Ceremony dan Tsani Lutvia, M.Pd sebagai moderator selama 2 jam 30 menit.

Acara dimulai dengan sambutan oleh Herdiyan Maulana, Ph.D sebagai Koordinator Program Studi (Koorprodi) Magister Sains Psikologi UNJ. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa meski magister sains merupakan prodi termuda di UNJ, walaupun demikian kami berusaha menghadirkan pengalaman kuliah yang terbaik. Dan webinar ini merupakan rangkaian tugas dan yang menginisiasi adalah mahasiswa dari konsentrasi Psikologi Pendidikan. Ini juga sebagai bentuk pengayaan untuk memenuhi kualitas lulusan. Dilanjutkan dengan pengantar dari dosen pengampu mata kuliah Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Dr.Iriani Indri Hapsari, M.Psi, Psikolog, “setiap yang berkebutuhan khusus dapat mengembangkan potensi-potensi mereka. Bagaimana mereka bisa mengembangkan minat mereka, bisa mengoptimalkan potensi mereka dengan melalui tahap-tahap perkembangan dengan optimal tentunya perlu disupport oleh lingkungan, keluarga, dan masyarakat sekitar. Jadi harapannya, dengan acara ini dapat membangun awareness terhadap yang berkebutuhan khusus bahwa mereka bisa mengembangkan potensi mereka. Jadi ayo kita coba bersama-sama, kita saling support dan peduli terhadap kebutuhan khusus karena mereka ada dengan berbagai potensinya, tapi mereka juga perlu untuk disupport dan didukung oleh lingkungan sekitar.

Sebagai pembicara pertama, Andira Pramatyasari menyampaikan, “kebanyakan sebelum tahun 2000 banyak teman-teman disabilitas khususnya tuna netra yang belum bisa menjangkau pendidikan ataupun mereka bisa mengakses pendidikan itu (namun) di usia yang tidak sesuai dengan usia sekolahnya mereka. Pertama karena keterbatasan informasi pada saat itu. Kedua, keterbatasan akses untuk menjangkau sarana pendidikan, karena waktu itu sarana pendidikan yang dapat menerima berkebutuhan khusus maupun sekolah reguler yang bisa menerima itu jumlahnya belum banyak dan pesebarannya masih terbatas. Kemudian juga stigma-stigma dari keluarga dan lingkungan yang menganggap disabilitas itu tidak perlu menempuh pendidikan atau mereka lebih fokus ke upaya-upaya medis atau rehabilitasi untuk menyembuhkan atau untuk mengembalikan fungsi yang dianggapnya tidak berjalan dengan semestinya, sehingga mengabaikan hak seorang anak untuk menempuh pendidikan. Hal tersebut masalah yang dihadapi anak disabilitas sejak lahir atau dari kecil.

Rahadian Sakti Pradana sebagai pembicara kedua berbagi tentang pengalamannya saat sebelum dan menjalani perkuliahan. Dalam slidenya beliau memaparkan, “sebagai individu dengan autism spectrum disorder (ASD) yang memiliki hambatan dalam berbicara dan beriteraksi dengan sekitar pernah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan di masa-masa Sekolah Dasar (SD). Pernah pula mengalami penolakan dalam kehidupan sosial. Untuk dapat melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi (PT) yang diperlukan adalah memotivasi dari diri sendiri untuk bisa mandiri, semangat untuk tidak menyerah dengan keadaan, banyak membaca, belajar, serta bertanya atau berdiskusi dengan orang sekitar yang lebih tahu dan memahami dengan apa yang belum dipahami. Support system dari keluarga, dukungan keluarga adalah yang paling utama. Saat menjalani perkuliahan: menjelaskan tentang kondisi diri kepada dosen dan teman-teman di kelas, tidak mendapat perlakuan khusus. Harapannya: individu berkebutuhan khusus bisa lebih diterima di lingkungan sosial, diberi kesempatan yang sama dalam berbagai bidang sesuai dengan kemampuannya

Fajar Baskoro, sebagai pembicara ketiga menceritakan, “(bidang) pendidikan bukan yang terbaik. Kuliah pun berantakan. Senang belajar tapi bosenan karena tidak bisa fokus, karena saya tidak minum obat. Dan baru tahu saat punya anak, begini caranya hidup benar. Ngobrol dengan saya beda dengan (saat) chat dengan saya. Bahasa chat saya tidak nyambung karena saya terlalu cepat. Kalau ngomong kayak robot, kayak rapper. Apa yang ditanya, jawabnya selangkah di depannya. Akhirnya orang bingung, saya ngomong apa. Tapi tujuannya benar. Dulu gak bisa nunggu. Kalau orang ngomong selalu nyelak, karena gak sabaran. Dan jempol kaki saya lipat kalau lagi ngomong, itu buat nahan sabar, karena gak bisa diem. Saat bicara dengan orang, kepala memikirkan hal yang lain, bahkan saat shalat. Untuk ADHD bisa fokus kalau tempatnya sepi dan hanya 2 orang. Mau tidur susah, karena saat tidur, otak masih memikirkan apa yang hendak dilakukan. Karena bagi saya tidur itu aneh. ADHD saat dewasa berubah saat menikah. Dopamin otak kita melihat berbeda saat melihat tanggung jawab, memiliki anak. Ada objek yang harus diperhatikan. Anak pertama ADHS, anak ke-2 ASD. Tidak bekerja karena harus menjaga 2 anak karena istri give up. Ketua rt juga. Memori bagus untuk hal-hal yang lama, tapi lupa untuk hal-hal yang baru. ADHS itu cerdik, tahu cara yang baik atau ide-ide yang aneh dan bosenan. Masukan untuk dosen/pengajar untuk mengenal anak ADHD adalah masuk ke dalam hatinya. Ngomong seolah kita adalah sahabat yang terbaik. Dia pasti cerita. Karena anak ADHD sensitif, peka bgt. Jangan bicara ini kalau di sekelilingnya lagi ada orang. Anak ADHD kalau diberi kepercayaan the best. Kalau anak ASD detail banget. Kalau sudah fokus, pasti hebat. Uniknya ADHD adalah sulit diatur. Kalau debat gak akan menang karena ADHD punya argumen sendiri.

Sebelum dibuka termin tanya jawab, disela terlebih dahulu dengan ice breaking yang dipandu oleh Wilda Sabrina, S.Pd. Peserta begitu antusiasnya dalam mengikuti webinar ini dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan yang masuk dalam kolom masuk, karena keterbatasan waktu maka dipilihlah beberapa pertanyaan yang mewakili berbagai kalangan peserta.

Rekimoresa menanyakan ke Andira, “bagaimana bisa survive dalam pergaulan? Bagaimana guru harus merespons ABK?” dan Andira menjawab, “Berusaha tidak merasa berbeda dengan yang lain dan jangan mau dikhususkan atau dispesialkan atau jangan tersinggung, yang membuat mereka takut bercanda atau berteman. Berusaha membuka diri dan berusaha kita yang memulai pembicaraan. Aktif untuk mendekatkan diri dan berteman dengan mereka. Sebagai pendidik, berusaha bersikap sama aja ke semua peserta didik dan menanyakan kebutuhan khususnya dan apa yang dapat diakomodir sehingga membuat dia jadi lebih mudah/nyaman/aksesibel dalam menjalankan tugas. Misal model tugasnya bisa diubah.

Sofa m. Arofah (UIN) bertanya kepada Rahadian, “Bagaimana bisa bangkit dan menyikapi orang-orang di lingkungan seperti itu (melakukan perundungan)?” Jawabannya, “Kalau dirundung biarkan saja. Tetap semangat dan bersikap baik. Tunjukkan prestasi”

Dela menanyakan pengalaman Fajar sebagai ADHD dewasa, “berdasarkan pengalaman sebagai ADHD dewasa dan memiliki anak ADHD apakah menemukan kesulitan di luar passion untuk menemukan interestnya?” Jawabannya, “ADHD susah fokus, jadi berjuanglah untu fokus. Males ketemu orang dan cuek banget. Saat jadi orang tua punya tanggung jawab.. ADHD, kena perasaan, hal yang sedikit (bisa) mengubah fokus. Sehebat-hebatnya manusia akan kalah juga dengan masalah hati. Hati kecil kita bisa ditanyakan di saat kita benar-benar intens dan saling transparan dengan individu tersebut. Ngobrol bareng, berdua. Fokus itu bisa. Asalkan dari hati ke hati. Tidak ada hati yang berbohong. Jikapun berbohong, tak akan lama. ADHD tidak bisa fokus karena membohongi diri sendiri, sebenarnya kita butuh bantuan orang. Kalau mau ngomongin interest, kita punya tanggung jawab apa dulu nih. Fokus itu nyaman di badan kita, di diri kita. Anak ADHD, butuh orang yang nyaman, butuh orang yang mau mendengarkan kita.

Secara lengkap, sila ditonton dalam video di bawah ini:

[sf/sf]